Senin, 19 September 2011

Lepas Sesuatu dari Hati, Tumbuh Iman Sejati

Lepas Sesuatu dari Hati,
Tumbuh Iman Sejati


...dropcap B...
eratnya hati menanggung beban dari isi dunia yang masuk acap tak dihiraukan manusia. Buktinya, rasa jenuh dan lelah mengarungi kehidupan, terpandang hal yang biasa. Demikiankah fitrah hati? Belumkah tiba saatnya untuk melepaskan sesuatu dari hati? Padahal, hanya dengan hati yang terisi oleh keindahan sifat asma Allah, tumbuhlah iman sejati.


Untuk itu, renungkan dan sentuhkanlah ke dalam hati firman Allah berikut ini:
• Engkau masukkan malam ke dalam siang
• dan Engkau masukkan siang kepada malam
• Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati
• dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup
• Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”.
(QS. 3:27), yaitu mereka yang shabar/teguh dalam perjalanan menumbuhkan iman sejati.

Penumbuhan iman sejati tidak bisa dilakukan di lahan kemanisan dan kelezatan nafsu. Mengapa? Karena kemanisan ataupun kelezatan nafsu merupakan bagian dari pada sesuatu (makhluq). Sesuatu selamanya tidak akan pernah dapat dipersatukan keberadaannya dengan iman sejati di dalam hati. Kapan ada sesuatu yang mapan atau melekat di dalam hati, pasti sulit bagi iman sejati untuk tumbuh berkembang sebagaimana mestinya. Namun sekali-kali janganlah dipahami bahwa manusia mesti berlepas-diri dari dunia. Dunia dihadapi oleh aqal yang tajam, sehingga perasaan-hati tetap dalam fungsi untuk senantiasa terkait-akrab dengan Allah.

Keberadaan sesuatu di dalam hati bersamaan dengan keberadaan iman sejati, adalah laksana hama benalu yang menyerang tumbuhan yang baru saja bertunas. Meskipun pada awalnya tidak tampak merusak —boleh jadi bahkan tampak menambah semaraknya kehidupan tanaman— tapi pasti akhirnya kehidupan tanaman yang ditumpangi benalu mengalami kerusakan hidup. Bahkan mati. Begitu pula bila sesuatu tetap dibiarkan hidup bersamaan dengan iman sejati di dalam hati, pada akhirnya iman sejati itupun akan mati. Apa dan bagaimana seharusnya kedudukan dunia seisinya terhadap hati?


Perlu diketahui, bila dan selama sesuatu melekat di hati selama itu pula diri manusia tidak akan pernah dapat mengerti dan mengetahui tentangnya dengan pasti. Jika sesuatu itu tampaknya dapat diketahui, pengetahuan itu adalah bukan yang sebenarnya, melainkan hanya anggapan belaka. Untuk dapat mengetahui sesuatu secara pasti, maka sesuatu itu harus berjarak atau renggang bahkan harus lepas dengan hati. Semakin jauh sesuatu terlepas dari hati, semakin jelas (tampak keseluruhannya) dan tajam diketahui secara pasti. Contohnya, seorang pria lekat hatinya dengan “sesuatu” yang berupa wanita. Dapat dipastikan ia tidak akan pernah tahu dengan pasti tentang wanita. Buktinya, banyak suami tidak menyadari suka menyakiti hati dan perasaan wanita. Banyak laki-laki yang tidak berhasil merasakan betapa pekanya perasaan seorang wanita.Yang tidak dapat diketahui dengan pasti oleh lelaki adalah haqiqi dari pada rasa wanita. Begitu pula bila hatiseorang wanita lekat terhadap suami atau harta. Pasti terhadap suami maupun harta ia tidak dapat mengetahuinya dengan pasti. Akibatnya, hatinya sering kali galau dengan sikap suami maupun oleh keberadaan harta.

Lain halnya bila sesuatu berjarak atau lepas dari hati. Yang muthlaq melekat di hatinya adalah Allah. Dengan kelekatan hati kepada Allah tersingkaplah segala rahasia sesuatu. Dari penjelasan ini dapatlah kita mengukur diri atau bertanya pada diri sendiri tentang keimanan yang selama ini diakui, benarkah iman sejati ataukah iman menipu diri? Hati kebanyakan manusia pasti masih belum bisa lepas apalagi bersih dari sesuatu bila tetap dirundung perasaan sedih, kecewa, senang maupun bahagia terhadap sesuatu. Bahkan perasan ini masih mudah mempengaruhi bahkan mengubah sikap-prilaku. Perlu diketahui, selamanya sesuatu tidak akan pernah lepas dari hati sehingga hati seorang hamba menjadi bersih, bila sesuatu itu tidak pernah mendapat penganiyaan atau penyiksaan. Ibarat karat yang sudah terlanjur melekat-erat pada besi, maka karat itu baru bisa lepas setelah besi dibakar atau dipukuli. Begitu pula halnya akan sesuatu baru dapat lepas atau bersih dari hati setelah terlebih dahulu dibakar dengan penganiyaan atau penyiksaan. Sesuatu yang paling sulit lepas atau bersih dari hati manusia adalah yang paling dicintai hati.


Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/10/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertma dari tiga tulisan. Lanjutannya insya Allah dipublikasikan pekan depan --Admin

2 komentar:

  1. Ketika beraktifitas dengan mengharapkan sesuatu untuk dimiliki, terasa lebih bersemangat dalam melakukannya. Jika tidak, maka terjadi sebaliknya. Inikah yang disebut hati terikat oleh sesuatu? Dalam realita saya belum bisa menjadikan 'Keridhaan Allah' sebagai daya dorong dalam beraktifitas. Langkah apa yang harus ditempuh?
    (ayola.dong@yahoo.com)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asswrwb.,

      Innamaa a'malu binniyah. Amal-perbuatan itu tergantung pada niyatnya. Niyat adalah buah dari kesadaran. Jadi, kalau aqal selalu memasok pengetahuan bahwa hidup kita itu sebenarnya sangat singkat (ibarat menyeberangi sungai dunyaa) untuk nantinya, sampai di dataran abadi(akhirat). Maka, tentu mudah diterima bahwa lebih baik mengabdi kepada Allah, dari pada mengabdi dunyaa. Pernyataan Rasul saw bisa dijadikan pedoman: saya hamba Allah, dan saya Rasul Allah.

      Di hadapan dunyaa, kita pun bisa menyatakan: saya hamba Allah (dan bukan hambamu, hai dunyaa), dan pada kedudukan saya di hadapan sesama manusia, saya adalah pegawai negeri (atau guru, pedagang, seniman, dsb) atau apa pun profesi anda.

      Apa saja kegiatan profesional kita, pasti bisa membawa suatu substansi penegakkan agama. Singkatnya, kita hidup numpang (kepentingan) Allah bukan Allah yang numpang (kepentingan) kita. Pasti Allah akan menolong kita. Amiin.

      Salam,

      Taufik Thoyib

      Hapus

Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.