Apakah ciri ke-Fir'aun-an? Penindasan kaum lemah untuk menumpuk kekuasaan mutlak lewat jalur pengetahuan, kekuatan politik, dan harta. Di tanah air ini, tampak kasat mata bahwa ummat Islam demikian terpuruk. Bahkan bisa saja, dalam anggapan dan perkiraan Fir’aun dan pengikutnya, tidak ada lagi kesempatan bagi ummat Islam untuk mencetuskan kebangkitan dan mengembangkan masa kejayaan sebagaimana yang pernah diraih. Nyatanya, kegemerlapan dan kemewahan seakan-akan berhasil mereka raih hingga puncaknya. Boleh saja anggapan dan perkiraan demikian. Tetapi bukan berarti ummat Islam benar-benar tidak lagi mendapat kesempatan mencuatkan kebangkitan bersemesta.
“Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha” (QS. 25:47).
Kembali ke Fithrah Pola Hidup Sederhana-Bersahaja

emesta beserta isinya adalah mutlak milik Allah dan Allah berhak atas segalanya. Meskipun bumi dan isinya dihiasi dengan kegemerlapan dan kemewahan Fir’aun yang mengarah pada kehancuran hidup, Allah berhak pula menggantikannya dengan kemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja. Caranya dengan cara menghancurkan terlebih dahulu pola hidup gemerlap-mewah. Lalu Allah bangkitkan kehidupan makmur dalam kesederhanaan yang bersahaja. Siapa yang akan mengira jika di antara ummat Islam yang tampaknya tidak berdaya, ada sekelompok Musa sedang menyusun dan menggiring kegemerlapan dan kemewahan Fir’aun masuk ke dalam kancah perangkap jebakan. Sudah menjadi suatu ketetapan yang berimbangan, setiap muncul kekuatan kegemerlapan dan kemewahan Fir’aun, pasti muncul Musa-Musa atau para Nabi membawakan pola hidup makmur dengan kesederhanaan yang bersahaya. Gambaran demikian secara isyarat telah tertuang dalam firman Allah, yang artinya: “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha” (QS. 25:47). Suatu simbol begitu syahdu menghimbau dan menggugah kesadaran untuk mencuatkan kebangkitan tertera pada ayat tersebut.
Dalam ayat di atas disebutkan dan dijelaskan dengan simbol, betapa ummat Islam berada dalam tidur sangat panjang tanpa sedikitpun menampakkan kegiatan-kegiatannya, dengan kata lain ummat Islam nyaris ditenggelamkan dalam kegelapan gelombang pola kehidupan Yhd, yang disimbolkan suasana malam sebagai pakaian itulah pola, atau sebagai waktu beristirahat itulah kevakuman kegiatan ummat Islam. Meskipun demikian gelapnya gelombang pola kehidupan Yhd melanda ummat Islam, masih ada segelintir ummat Islam yang begitu tulus bangun menghimpun kekuatan “di tengah malam” kemudian kekuatan tersebut akan dikerahkan “pada siang harinya”. Fakta bahwa sebagian ummat Islam bangun di tengah malam menegakkan sholat tahajut, kemudian di siang hari kekuatan yang telah berhasil dihimpun dikerahkan untuk memperoleh kebangkitan hidup, bukanlah sekedar fenomena kasat mata. Tetapi juga simbol. Mereka adalah sebahagian ummat Islam yang dengan tulus mau bersungguh-sungguh bangkit bergerak menghimpun kekuatan di tengah-tengah berkuasanya kegemerlapan dan kemewahan dengan pola kehidupan Yhd. Maka sebelum kebangkitan itu muncul secara bersemesta, Allah khabarkan terlebih dahulu melalui perantara utusan-Nya malaikat berupa berita gembira kepada mereka yang bersungguh-sungguh. Diharapkan dengan berita gembira itu akan menambah kesungguhannya untuk menggerakkan kebangkitan bersemesta. Bagaimana petunjuk Allah tentang hal ini?
“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (QS. 25:48). Maksud Allah mengabarkan perbaikan akhlak langsung dari Allah tidak lain agar tergugah kesadaran ummat Islam yang sedang tertidur panjang dalam ayunan dan selimut tebal pakaian pola Yhd, bahkan tidak pula sedikit kesadaran ummat Islam yang mati tertindih pakaian tebal pola kehidupan Yhd. Dengan akhlaq yang baik terhadap Allah dan ciptaaan-Nya, manusia pasti terbimbing oleh petunjuk Allah. Petunjuk Allah itulah penentu sekaligus modal kebangkitan.
Mereka ummat Islam yang kesadarannya telah mati disamakan dengan binatang-binatang ternak yang kehausan di tengah padang pasir. Dalam hal ini sebenarnya masih dapat diharapkan hidup segar kembali jika diberi minuman segar dari Allah (itulah perbaikan akhlak dari Allah). Wajar jika sebagian besar kesadaran ummat Islam telah mati, karena terlalu lama ditenggelamkan oleh pola kehidupan Yhd. Dalam hal ini berita gembira yang Allah khabarkan, sifatnya bukan saja menghidupkan kembali kesadaran manusia yang telah mati, namun dapat juga menghidupkan kembali negeri yang telah mati. Yang dimaksud negeri telah mati adalah negeri yang penduduknya tidak dapat berbuat apa-apa untuk kemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja.
Sebenarnya, kematian negeri disebabkan kehancuran jiwa raga penduduknya. Itulah sebabnya, datangnya perbaikan akhlak dari Allah pada suatu negeri, tidak saja menghidupkan penduduknya yang diibaratkan binatang ternak bahkan lebih buruk dari binatang ternak, tetapi juga menghidupkan negerinya. Buah utama akhlaq yang diperbaiki Allah ialah Keilmuan Murni Terpadu bersifat Qur’ani. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman, yang artinya: “agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak”. Dalam hal ini bumi persada tanah air ini tidak henti-hentinya menerima perbaikan dari Allah. Setiap masa atau setiap negeri ini mendekati masa kehancurannya, Allah datangkan perbaikan untuk menghidupkan kembali negeri ini menjadi negeri yang berkemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja. Negeri ini bukanlah ditakdirkan sebagai negeri yang berada dalam kematian, melainkan negeri ini memperoleh ketetapan sebagai negeri yang hidup dan menghidupkan negeri lain yang telah mati.
Indonesia tampaknya terlihat sebagai negeri yang mati yang kehidupannya diwarnai oleh pola Yhd. Sebab yang pertama, ialah adanya Fir’aun dan pengikutnya yang menginginkan negeri ini menjadi negeri yang bergemerlapan dan bermewah-mewahan. Kedua, ummat Islam-nya terlena dengan pola kehidupan Yhd, karena diiming-imingi oleh kehidupan berpola materialistik. Bukti bahwa negeri ini mendapat ketetapan dari Allah sebagai negeri yang hidup dan menghidupkan ialah perbaikan dari Allah, dari masa ke masa. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak dapat mengambil pelajaran, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu di antara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (daripadanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat)” (QS. 25:50). Ummat Islamnya ternganga dan lebih suka dengan pola materialistik-gemerlap-mewah Yhd dari pada pola kehidupan berkemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/12/1997 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari dua tulisan. Bagian pertamanya adalah Fithrah Manusia tidak Hidup Gemerlap-Mewah sebagaimana Fir’aun dan Kaumnya -Admin
Kamis, 09 Agustus 2012
Kembali ke Fithrah Pola Hidup Sederhana-Bersahaja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum wr wb.
BalasHapusJd jalan keluarnya memperbaiki akhlak? Yg dimaksud yhd, kembali kpd apa? Trmksh - p.yayan
Wa'alaikum salam wr wb. Terimakasih. Benar, jalan keluar dari himpitan pola hidup dan pola pandang Yhd adalah kembali pada akhlaq kpd Allah. Artinya, bukan hidup bermewah-gemerlap cinta dunia, karena fitrah manusia adalah hidup bersahaja. Mensyukuri dunia secukupnya untuk melangsungkan hidup selamat di akhirat. Orang-orang beriman bersangatan cintanya pada Allah.
BalasHapusassalamu'alaikum wr. wb
BalasHapusTerimakasih,
saya kadang masih sulit menafsirkan yang dimaksud dgn pola pandang atau pola hidup yhd,
apakah yang dimaksud yhd adalah bangsa Israil? apakah orang ras yhd? padahal orang ras yhd ada juga yang beragama Islam.
Dimana literatur yang bisa saya baca tentang seperti apa bentuk pola pandang/pola hidup yhd?
apakah sifat2 mengenai bani israil yang digambarkan dalam Al Qur'an itu yang dimaksud pola pandang/pola hidup yahudi?
trimksh P.yayan
Assalamu'alaikum wr wb
BalasHapussaya bersyukur dapat kembali menyemak mutiara2 hikmah dari tutur kata Ki Munadi MS. bolehkah saya mengetahui letak makam Beliau ? saya ingin berziaroh. bila privasi dapat di email ke yobicakep83@gmail.com. saya haturkan banyak terima kasih. wass wr wb