Khutbah Idul Adha 1423H
Kesejatian Iman Bertauhid dengan Untaian Akhlaq Ilahiyah Labuhkan Jiwa Kehidupan di Dermaga Hunian Berkah Berkemakmuran
Keimanan tauhid murni akan membawa jiwa seseorang pada tingkat rela berqorban. mengutamakan kepentingan pihak lain dari pada kepentingan diri pribadi sekalipun diri sangat membutuhkan. Sebagaimana dicatat dengan tinta emas dalam tarikh perang Yarmuk. Setelah pasukan Muslim berhasil memukul mundur pasukan Roma, ditemukanlah 3 orang mujahid terluka parah, meregang nyawa dan sangat kehausan. Mereka adalah Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Ikrimah bin Abu Jahal. Al-Harits meminta air minum kepada yang tampak membawa kantung minum. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia melihat Ikrimah dalam keadaan seperti yang ia alami. "Berikan dulu kepada Ikrimah," kata Al-Harits. Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat Ayyasy menengok kepadanya. "Berikan dulu kepada Ayyasy!" ujar Ikrimah. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, dia telah wafat. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun keduanya pun telah menghembuskan nafas terakhirnya sebagai syuhada. Demikian itu gambaran akhlaq terpuji dalam keadaan sakit dan membutuhkan masih juga mengutamakan pihak lain, cerminan jiwa berqorban yang tidak diragukan lagi. Al-Quran juga mengabadikan sikap orang-orang Anshar terhadap kaum Muhajirin yang cintanya kepada saudaranya melebihi cintanya kepada diri sendiri, Sebagaimana difirmankan:
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (Q.S. 59: 9)
Kalau cermin itu kita kita terakan pada kehidupan masyarakat kita dalam berbangsa dan bernegara apa yang dapat kita katakan? Masih tumbuh suburkah karakter masyarakat yang gemar bergotong royong, santun, bersahaja, dan peduli kepada pihak lain itu? Ataukah semua telah tergerus oleh sikap pragmatis-materialistik yang masing-masing maunya mementingkan dan memperkaya diri sendiri sehingga memandang remeh terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan dengan sesama tidak lebih hanya untuk kepentingan sesaat dan memperalat. Bagaimana suatu bangsa dapat menghamparkan hunian anggun-berkemakmuran, jika masing-masing pribadi bangsa dan para pelaku jalannya kehidupan bangsa bersibuk diri memenuhi kepentingan pribadi karena rendahnya akhlaq yang mereka miliki. Jaya atau hancurnya suatu bangsa sangat ditentukan pada ada tidaknya akhlaq indah-terpuji, yang diawali pada masing-masing pribadi, dilazimkan dalam keluarga dan disebarkan dalam kehidupan bermasyarakat dengan poros penggeraknya adalah para pemimpin, karena pemimpin mempunyai fungsi untuk mempengaruhi dan mengarahkan yang dipimpin.
Bagaimana pendahuluan dan uraian lengkap khutbah Idul Adha 1423H Ustadz Lutfi Fauzan berjudul "Kesejatian Iman Bertauhid dengan Untaian Akhlaq Ilahiyah Labuhkan Jiwa Kehidupan di Dermaga Hunian Berkah Berkemakmuran" itu?
Silakan unduh versi lengkapnya di tautan ini, atau di kolom samping kanan atas.
Senin, 31 Oktober 2011
Khutbah Idul Adha 1423H
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Ketika membaca atau mendengar nasehat yang baik seperti artikel diatas, hati membenarkan perilaku para sahabat Nabi tersebut. Tapi di waktu yang lain mungkin akan mengatakan perbuatan tersebut adalah perbuatan bodoh. Apa yang menyebabkan jiwa seseorang menjadi sangat labil? Apa solusinya?
BalasHapusMokund Helana (mokundhelana@gmail.com)
Penyebab labik: nafsu yang masih kuat terikat pada dunyaa, sehingga bersifat egois/ananiyah. Solusinya riyadhah/latihan yang juga kuat, agar nafsu secara bertahap tak terikat dunyaa, dengan cara tidak mensegerakan apa-apa yang disenangi nafsu, diiringi melatih-paksa diri-sendiri untuk berbuat baik menurut ukuran Al Qur'an + Hadits. Demikian, sampai akhirnya nafsu berhijrah ke perilaku yang terpuji, yaitu penuh kepedulian kasih-sayang pada ciptaan Allah sesuai ridha-Nya dan rela/senang berqorban demi meraih tujuan dalam ketetapan-Nya. Ketetapan pada sikap kasih-sayang dan rela tersebut terbentuk di hati.
BalasHapusJazakumullah Khairan katsiraa.
BalasHapusTerima kasih Pak Taufik atas nasehatnya, semoga bisa melaksanakannya dan istiqomah.
Mokund Helana (mokundhelana@gmail.com)